Bila ada hal yang paling menyebalkan di Indonesia, maka korupsi adalah salah satu yang membuat kita kesal, miris dan prihatin, bahkan cenderung kian membuat apatis, karena tampaknya sulit diberantas. Bagaimana tidak, hasil jajak pendapat yang diadakan Political and Economical Consultancy yang dirilis Bulan Maret 2011 menempatkan Indonesia sebagai Negara yang paling korup se Asia Tenggara.
Berbagai kasus korupsi, seperti Bank Century, mengalami proses penyelidikan yang terkatung-katung hingga kini, dan tampaknya pemerintah enggan mengusut tuntas kasus ini. Skandal yang melibatkan bendahara umum PD, Nazaruddin dalam kasus pembangunan wisma atlet di Palembang yang juga pernah menawarkan suap kepada sekretaris MK, sepertinya akan menjadi drama yang berlarut-larut. Ketika dia dipecat dari jabatannya pada tanggal 23 Mei 2011, tepat pada tanggal yang sama Nazaruddin melenggang ke Singapura. Belum lagi, Nunun Nurbaeti yang konon dikabarkan menderita sakit lupa berat, sepertinya masih adem ayem di luar negeri, entah dimana meski sudah di vonis sebagai terasangka dalam kasus penyuapan anggota DPR dalam pemilihan Calon Gubernur BI, Miranda Gultom.
Berbagai kasus skandal korupsi yang melanda negeri ini dari sejak jaman Soeharto berkuasa hingga kini membuat negeri ini semakin terpuruk. Dana yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, mengalir deras ke kantong-kantong koruptor yang tak bertanggungjawab.
Hal ini yang membuat miris para alumni FISIP UI yang tergabung dalam Keluarga Ilmu Politik FISIP UI untuk menggelar acara diskusi “Indonesiaku dibelenggu koruptor”, pada tanggal 4 Juni 2011 di Warung Daun, Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Yang dihadiri sebagai pembicara : Ade Irawan dari Indonesia Corruption Watch, Hendri Saparini dari Econit, Ikrar Nusa Bhakti dari LIPI dan sebagai moderator, wartawan kartu pers nomor satu, Budiarto Shambazy. Hadir pula saat itu Dekan FISIP UI, Bambang Shergy L, Mantan Ketua ILUNI FISIP Arianto T serta beberapa dosen, para alumni dan mahasiswa FISIP UI. Ungkapan kekesalan yang membuat diri seperti apatis, diungkapkan oleh Taty Gobel, penggagas acara diskusi ini. Kalau ada koruptor yang dilindungi karena pengurus kader kesayangan, lalu ada suami yang menyayangi dan melindungi isterinya yang korup tapi (katanya) amnesia berat, lalu siapa yang menyayangi rakyat?
Hendri Saparini mengatakan, bahwa banyak peluang korupsi diapatkan melalu celah ekonomi. Kue Ekonomi APBN yang jumlahnya 1200-1300 triliun merupakan lahan peluang korup yang amat sangat banyak. Fungsi anggaran DPR diikutsertakan pada program-program pembangunan berdasarkan kepentingan tertentu, yang seharusnya lebih kepada menentukan arah strategis kebijakan. Sistem di pemda sendiri mendorong timbulnya korupsi. Perijinan diperdagangkan bahkan menjadi tumpang tindih. Pejabat pemerintah daerah, juga cenderung menutupi kecurangannya dimasa lalu, misalnya ketika masa jabatan selama dua periode berakhir, maka dia mencalonkan anaknya, saudaranya, isterinya untuk mengikuti pemilihan kepala daerah. Bahkan ada yang setelah menjadi gubernur, lalu mencalonkan diri menjadi wakil gubernur.
Korupsi mendorong regulasi lewat DPR, lewat Pemda, misalnya ijin tambang batu bara. UU dibuat untuk kepentingan tertentu, misalnya UU Migas. Bukan tanpa sebab, bila ada keuntungan timbal balik dengan membelokkan arah kebijakan ekonomi. Bila korupsi sulit diberantas, karena cenderung adaexcuse, kesalahan masa lalu sering dilupakan begitu saja.. Korupsi tidak berhenti pada transparansi, tetapi harus menimbulkan efek jera. Harus ada shock therapy pada para pelaku . Merubah sistem agar korupsi bisa terurai. Warga harus memperbaiki cara untuk memerangi koruptor.
Jadi, cara seperti apa ya? terapi kejut macam apa ya? hukuman apa yang pantas untuk koruptor? Bagaimana mengurai sistem korupsi yang sudah berurat akar satu demi satu? Butuh waktu berapa lama lagi ya? Sepertinya banyak pertanyaan yang masih belum terjawab. Susah memang.. karena koruptor di Indonesia tidak mengenal rasa bersalah maupun rasa malu tapi juga menghindari tanggung jawab. Bila di Amerika dan Eropa, pejabat publik dengan cepat mengundurkan diri akibat korupsi. Di India, pejabat langsung menyerahkan jabatan bila ada kecelakaan kereta api, lalu langsung diadili. Di Jepang, tak jarang pejabat harakiri bila ketahuan korupsi. Ironisnya di Indonesia, banyak koruptor yang merasa nyaman dan tanpa rasa bersalah, melakukan tindak korupsi sekalipun mengundang kecaman masyarakat. Mudah-mudahan secercah harapan itu masih ada. Semoga harapan tidak hanya sekedar harapan..
Jakarta, 5 Juni 2011
-Meita-
sumber : http://regional.kompasiana.com/2011/06/05/indonesiaku-dibelenggu-koruptor/
0 comments: